Irama Jiwa – Dalam era serba digital dan penuh tuntutan akademis, banyak orang tua dan pendidik justru mulai melupakan satu hal sederhana namun esensial: imajinasi anak. Padahal, dunia imajinasi bukan hanya soal bermain atau berkhayal ia adalah jembatan penting menuju perkembangan kognitif, sosial, dan emosional yang kuat.
Menurut psikolog anak dan perkembangan, imajinasi adalah kemampuan anak untuk menciptakan dunia fiktif yang penuh makna. Di dalam dunia itu, mereka bisa menjadi siapa pun dan melakukan apa saja dari menjelajahi luar angkasa hingga menjalankan toko kue di halaman rumah.
Lewat permainan berpura-pura, anak secara tidak langsung sedang melatih keterampilan berpikir logis, memahami peran sosial, dan bahkan mengelola emosi mereka. Imajinasi menjadi dasar bagi berpikir kreatif dan problem solving, dua hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Baca Juga : Mengatasi Rasa Takut: Ketika Langkah Kecil Menjadi Awal Keberanian Besar
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa bermain imajinatif memicu perkembangan fungsi eksekutif otak anak. Ini mencakup kemampuan untuk mengatur diri, memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan mengelola perhatian.
Tak hanya itu, aktivitas seperti menggambar monster ciptaan sendiri, membuat cerita tentang hewan peliharaan yang bisa berbicara, atau bermain “dokter-dokteran”, ternyata memperkaya kosa kata dan memperdalam pemahaman anak terhadap dunia di sekitarnya.
Anak-anak yang terbiasa bermain dengan imajinasi juga cenderung memiliki kecerdasan emosional yang lebih baik. Mereka belajar mengekspresikan perasaan melalui karakter imajinatif, serta mengembangkan empati dengan memahami peran orang lain dalam permainan.
Ketika anak bermain sebagai “ibu” dalam permainan rumah-rumahan, misalnya, ia belajar bagaimana merawat, menenangkan, dan mengambil keputusan keterampilan yang nantinya akan bermanfaat dalam hubungan sosialnya di dunia nyata.
Simak Juga : Pentingnya Perkembangan Sosial untuk Anak Sejak Dini
Sayangnya, di tengah gempuran gadget, media sosial, dan sistem pendidikan yang makin akademik sejak usia dini, ruang untuk imajinasi kian menyempit. Anak lebih sering diberi video edukatif daripada waktu untuk bermain bebas. Akibatnya, kreativitas yang seharusnya tumbuh sejak usia dini justru terhambat.
Psikolog mengingatkan bahwa kemampuan berimajinasi tidak serta-merta muncul begitu saja ia butuh latihan, waktu luang, dan ruang aman untuk berkembang. Ketika anak hanya mengikuti instruksi atau menonton layar, mereka tidak sedang berkreasi, melainkan menjadi konsumen pasif informasi.
Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak mengembangkan imajinasi mereka:
Melatih imajinasi bukan sekadar menghibur anak, tapi menyiapkan mereka menghadapi tantangan dunia nyata. Anak yang terbiasa berpikir kreatif sejak dini akan lebih adaptif, mandiri, dan percaya diri dalam mencari solusi.
Imajinasi anak merupakan akar dari inovasi, Maka dari itu mari kita beri ruang bagi mereka untuk membayangkan, berkreasi, dan bermain karena dari situlah, pemikir besar masa depan akan tumbuh.