Irama Jiwa – Pemblokiran jutaan rekening bank oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Dengan dalih keamanan sistem keuangan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang, rekening-rekening yang dianggap “tidak aktif” selama minimal tiga bulan dibekukan sementara. Namun, di balik langkah administratif tersebut, muncul pertanyaan besar dari masyarakat: benarkah rekening yang tidak digunakan otomatis menandakan potensi kejahatan?
Kebijakan ini menyasar rekening dormant atau nganggur yaitu rekening yang dalam periode waktu tertentu tidak menunjukkan aktivitas transaksi. PPATK berdalih bahwa rekening jenis ini kerap dimanfaatkan untuk menyamarkan dana gelap, termasuk hasil judi online dan kejahatan digital lainnya. Dalam satu pernyataan, pihak PPATK menyebut lebih dari 28 juta rekening telah diblokir, dan ratusan ribu di antaranya teridentifikasi menyimpan dana mencurigakan bernilai fantastis.
Reaksi warga pun beragam. Banyak masyarakat mengaku tidak mendapat pemberitahuan apa pun sebelum rekening mereka diblokir. Ada yang menggunakan rekening tersebut sebagai tabungan dana pendidikan anak, simpanan hari tua, hingga keperluan mendesak yang memang jarang disentuh. Bagi mereka, diamnya rekening bukan karena lalai, melainkan karena perencanaan keuangan yang cermat.
Salah satu kasus diangkat oleh Anggota Komisi XI DPR, Anna Mu’awanah, yang menilai PPATK perlu lebih cermat dalam memilah jenis rekening dormant. “Kita tidak bisa langsung menganggap rekening yang diam itu mencurigakan. Banyak orang yang menabung secara pasif, bukan berarti terlibat dalam praktik ilegal,” ujar Anna dalam rapat kerja bersama pihak terkait.
Baca Juga : Pemerintah Dituntut Transparan Terkait Transfer Data Pribadi ke Amerika Serikat
Tanggapan dari perbankan pun bermunculan. Bank Danamon, misalnya, telah menanggapi kebijakan ini dengan cepat. Mereka meminta PPATK membuka blokir terhadap nasabah yang terdampak dan memastikan proses reaktivasi dapat dilakukan dengan mudah. Nasabah hanya perlu mengisi formulir keberatan, melampirkan data diri, dan menjalani verifikasi di kantor cabang untuk mengaktifkan kembali rekeningnya.
Pihak bank juga mengimbau nasabah untuk menjaga agar rekening tetap aktif, setidaknya dengan melakukan transaksi ringan atau memperbarui data pribadi secara berkala.
Di balik semua ini, tampak jelas bahwa masalah literasi keuangan masih menjadi akar dari banyak ketimpangan kebijakan. Tak semua nasabah memahami bahwa rekening bisa dianggap “bermasalah” hanya karena tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu. Apalagi sebagian besar masyarakat di daerah masih menggunakan rekening bank sekadar untuk menyimpan uang tanpa rutinitas transaksi digital.
Di sinilah urgensi edukasi menjadi sangat penting. Pemerintah dan lembaga perbankan perlu lebih aktif menjelaskan status rekening, kategori dormant, serta dampaknya kepada masyarakat umum. Tanpa sosialisasi yang cukup, kebijakan semacam ini bisa memicu ketidakpercayaan terhadap sistem perbankan secara menyeluruh.
Langkah PPATK sejatinya lahir dari niat baik menjaga ekosistem keuangan agar tetap bersih dari dana ilegal. Namun, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Memblokir rekening pasif tanpa pemetaan konteks sosial bisa melukai kepercayaan publik.
Diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan komunikatif. Pemberitahuan bertahap, klasifikasi lebih rinci antara rekening aktif-pasif-berisiko, serta kemudahan akses reaktivasi menjadi bagian dari solusi yang adil.
Kebijakan yang kuat adalah kebijakan yang bukan hanya tegas, tetapi juga berakar dari pemahaman terhadap realitas masyarakat. Dalam kasus pemblokiran rekening, tantangan terbesarnya bukan hanya pada pengawasan dana tetapi bagaimana menjaga agar kepercayaan rakyat pada sistem keuangan tidak ikut terblokir.