Irama Jiwa – Isu perlindungan data pribadi kini menjadi perhatian publik, terutama setelah muncul kabar mengenai kemungkinan transfer data warga negara Indonesia ke Amerika Serikat (AS). Wacana ini mencuat usai pertemuan bilateral antara pemerintah Indonesia dan AS yang membahas potensi kerja sama ekonomi. Namun, muncul kekhawatiran mengenai keamanan data pribadi jika informasi sensitif masyarakat ditransfer lintas negara tanpa pengawasan yang ketat.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Henry Indraguna, menjadi salah satu tokoh yang angkat bicara. Ia menegaskan bahwa pemerintah wajib memberikan penjelasan terbuka mengenai skema perlindungan data yang akan diterapkan apabila kerja sama Transfer Data Pribadi benar-benar dijalankan.
Menurut Henry, kerja sama ekonomi dengan negara lain memang penting, namun bukan berarti mengorbankan privasi warga. Ia menekankan bahwa perlindungan data pribadi adalah hak fundamental yang harus dijaga oleh negara. Maka dari itu, jika memang ada rencana transfer data ke pihak asing, masyarakat berhak tahu siapa pengelola datanya, bagaimana data itu digunakan, serta bagaimana perlindungannya secara hukum.
Henry juga mendorong pemerintah untuk menggunakan standar internasional seperti Binding Corporate Rules (BCR) sebagai acuan. Selain itu, ia menyarankan adanya perjanjian bilateral yang mengikat secara hukum untuk mencegah penyalahgunaan data oleh entitas di luar negeri.
Baca Juga : Menemukan Ketenangan di Rumah: Tren Slow Living dengan Nuansa Kayu dan Warna Natural
Menanggapi isu tersebut, pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara menegaskan bahwa tidak ada penyerahan massal data pribadi ke pihak AS. Yang terjadi adalah penggunaan platform digital milik perusahaan-perusahaan asing yang memang sudah banyak digunakan di Indonesia. Artinya, data pengguna hanya dikirim ke server luar negeri ketika mereka mengakses layanan tertentu, bukan karena keputusan unilateral dari pemerintah.
Namun demikian, banyak pihak menilai bahwa klarifikasi ini masih belum cukup menjawab kekhawatiran publik. Sebab, meskipun data dikirim secara teknis oleh pengguna sendiri, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab untuk mengawasi proses dan memastikan bahwa tidak ada pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan.
Tak dapat dimungkiri, kerja sama digital lintas negara dapat membuka peluang ekonomi, seperti peningkatan akses pasar, penguatan sektor teknologi, hingga penambahan investasi. Akan tetapi, jika tidak diimbangi dengan perlindungan data yang memadai, hal ini justru bisa berbalik menjadi ancaman terhadap kedaulatan digital Indonesia.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Di banyak negara, termasuk di Eropa, Transfer Data Pribadi ke luar negeri diatur secara ketat melalui General Data Protection Regulation (GDPR). Indonesia pun diharapkan memiliki sistem pengawasan dan pengendalian data yang setara agar tidak tertinggal dalam tata kelola digital global.
Simak Juga : Emak-Emak Nekat Hentikan Balapan Liar Demi Hal Tak Terduga!
Bagi masyarakat, isu ini bukan sekadar perkara teknis, tapi menyangkut rasa aman. Saat data pribadi seperti KTP, lokasi, kebiasaan belanja, hingga riwayat kesehatan tersebar tanpa kontrol yang jelas, maka potensi penyalahgunaan seperti penipuan, pelacakan digital, hingga kebocoran data menjadi ancaman nyata.
Oleh karena itu, edukasi publik dan transparansi sangat diperlukan. Pemerintah harus menjelaskan dengan bahasa yang sederhana tentang bagaimana data digunakan, siapa yang memiliki akses, dan bagaimana pengguna bisa melindungi diri secara mandiri.
Perlindungan data bukanlah hambatan bagi kemajuan teknologi, melainkan fondasi bagi ekosistem digital yang sehat. Dalam membangun Indonesia yang inklusif secara digital, negara harus menjamin bahwa kemajuan tidak dilakukan dengan mengorbankan hak asasi.
Langkah ke depan harus melibatkan: